“Mulut Tuhan” itu robek dan meninggalkan luka mendalam.
Puncak Gunung Bawakaraeng sebenarnya tidaklah terlalu tinggi, yakni sekitar 2.830 meter di atas permukaan laut (m dpl). Bandingkan dengan puncak tertinggi di Gunung Jaya, Papua yang mencapai 5.030 m dpl.
Namun demikian, para pendaki yang belum pernah menjajal medan tersebut, jangan mengganggap remeh Gunung Bawakaraeng. Apalagi di musim hujan, undurkan niat Anda untuk mendaki puncak tersebut. Fakta membuktikan, banyak pendaki menghembuskan nafas terakhirnya akibat kedinginan. Nyawa mereka hilang percuma, tak kuasa melawan suhu yang teramat dingin.
Bagi masyarakat lokal, nama Bawakaraeng memang keramat. Dalam bahasa lokal, Bawakaraeng berarti mulut Tuhan (bawa adalah mulut dan karaeng berarti Tuhan). Mereka yakin, di gunung itulah menjadi tempat pertemuan para wali. Tak heran kalau di setiap musim haji, gunung itu tampak ramai dikunjungi umat muslim. Apalagi pada tanggal 10 Dzulhijjah atau bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Suasananya bertambah marak.
Warga yang berasal dari berbagai daerah itu datang dan melakukan shalat Idul Adha berjamaah di puncak Gunung Bawakaraeng. Bawakaraeng bukan hanya menjadi pelepas dahaga spritual. Lebih dari itu, muara Sungai Jeneberang berasal dari gunung ini. Sebelum terjadi bencana longsoran dahsyat pada 26 Mei 2004, air yang mengalir ke sungai Jeneberang sangat jernih.
Air ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Gowa dan Makassar. Sawah dan ladang perkebunan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) ini tampak subur menghijau. Mereka bisa membudidayakan tanaman pertanian kapan saja, tanpa harus menunggu musim hujan tiba. Panen mereka juga berlimpah ruah.
Tak puas di situ, Bendungan Bilibili pun dibangun. Tujuannya, agar pengelolaan air di sepanjang sungai terbesar di Gowa itu lebih maksimal lagi, tidak sekedar mengairi sawah dan ladang penduduk. Benar saja, ketika bendungan terbesar di Sulsel seluas 40.428 ha itu usai dibangun, listrik bertenaga air berkapasitas 2 MW dapat dipanen.
Sebagian masyarakat pun menikmati air PDAM dari bendungan tersebut. Di bagian tertentu dari bendungan itu juga diisi dengan kegiatan budidaya perikanan air tawar. Tak lama berselang, sektor wisata pun mulai menggeliat. Singkat kata, Bendungan Bilibili telah menghasilkan manfaat besar bagi masyarakat luas.
Membentuk Kaldera
Kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sekitar enam tahun lalu, tepatnya 26 Mei 2004, masyarakat di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan berduka. Sebanyak 30 orang tewas serta ribuan areal sawah dan perkebunan milik warga terkubur longsoran lereng Gunung Bawakaraeng.
Ketika “mulut Tuhan” itu robek, ia meninggalkan luka mendalam dan tidak mudah disembuhkan dalam tempo singkat. Bukan apa-apa, volume longsoran tanah itu tidak main-main. Menurut hasil survei yang dipaparkan Departemen Pekerjaan Umum, volume longsoran itu mencapai 230 juta m3. Saking besarnya ukuran longsor tersebut, kini meninggalkan kaldera yang cukup dalam dan luas di lereng Bawakaraeng. Kondisi semacam ini tentu sangat berbahaya jika musim hujan tiba. Sedimen longsoran itu terus terkikis bersama air hujan.
Lumpur-lumpur pasir itu lalu memenuhi badan Sungai Jeneberang, sebuah sungai terbesar di Gowa. Fenomena ini menimbulkan masalah yang lebih pelik lagi di kemudian hari. Betapa tidak, akibat longsoran tersebut DAS Jeneberang seluas 384,4 km² menjadi labil. Tiga tahun usai longsoran, tepatnya Februari 2009, menurut laporan Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo, sedimen di Bendungan Bilibili itu mencapai 62 juta m3. Jumlah itu tentu saja masih bisa bertambah karena potensi longsor di hulu mencapai 300 juta m3.
Longsoran susulan sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Kalau ini terjadi, masyarakat Gowa dan Makassar semakin menderita. Mengapa demikian? Seperti diketahui, Sungai Jeneberang bermuara di Bendungan Bilibili. Bendungan yang diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 1999 ini dibangun dengan dana pinjaman dari JICA (Japan International Cooperation Agency) senilai Rp 780 miliar. Bendungan ini menjadi sumber air baku bukan saja bagi penduduk Gowa tetapi juga Makassar. Bendungan yang bervolume air 457 juta m3 itu dipakai untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik dengan kapasitas sebesar 20 MW. Bendungan ini juga menjadi tameng bagi warga yang bermukim di Gowa dan Makassar terhadap banjir di musim hujan.
Tanpa bendungan ini, luapan air dari Sungai Jeneberang dapat menenggelamkan kawasan tersebut. Selain itu, sekitar 24.000 ha lahan pertanian juga mendapat pasokan air dari bendungan ini. Jadi, dapat dibayangkan kalau semua longsoran itu masuk ke sungai dan memenuhi Bendungan Bilibili. Kalau itu terjadi, bersiaplah menghadapi mapaletaka demi malapetaka yang lebih dahsyat lagi. Jepang dan Indonesia Berdasarkan fenomena inilah, perlu ada solusi untuk mengatasi hal tersebut.
Tidak mudah memang menangani longsoran tersebut. Sebab, menurut ahli geologi dari Kementerian Pekerjaan Umum Haeruddin C Maddi, di dunia fenomena semacam ini hanya terjadi di dua negara, yakni Jepang dan Indonesia. “Tim kami perlu belajar dan mengadobsi teknologi konstruksi bangunan sabo dam untuk menahan atau mengurangi laju volume sedimen yang memasuki badan sungai,” ujarnya. Pekerjaan semacam ini perlu ekstra perjuangan. Apalagi longsoran baru terus berpotensi akibat terbentuknya kaldera yang sangat luas.
Berdasarkan pengukuran pada awal Maret 2010, ternyata masih ada potensi longsor di barat Gunung Bawakaraeng. Volume longsoran itu sangat besar, ditaksir mencapai 110 juta m3. Dapat dibayangkan kalau longsoran ini terbawa air hujan, memenuhi badan sungai, dan akhirnya bermuara di Bendungan Bilibili.
Kalau sedimen pasir ini sampai menumpuk di pintu pembuangan (outlet), kondisi ini sangat berbahaya. Bendungan bisa jebol lalu memuntahkan air dan menenggelamkan wilayah yang ada di bawahnya. Warga yang bermukim di Desa Taring, Kecamatan Biringbulu, Gowa perlu ekstra waspada karenapenderitaan desa tersebut paling parah jika bendungan tersebut jebol.
Benarkah pembangunan waduk ini salah perencanaan sehingga tidak mampu mengantisipasi longsoran dari Gunung Bawakaraeng? Nasi telah menjadi bubur, semua telah terjadi dan tak mungkin kembali lagi. Justru yang terpenting saat ini adalah mengupayakan agar tidak terjadi bencana susulan yang lebih hebat di kemudia hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar