Selasa, 15 Maret 2011

survival d laut

Tenggelam dan kehilangan panas tubuh merupakan dua penyebab utama kematian di laut. Karena itu, usahakan agar kedua hal itu tidak menimpa kita. Sejak naik ke atas kapal, amati dan pelajari situasi kapal. Temukan di mana letak lifeboat (rakit penyelamat), pelampung, dan jalan atau pintu keluar darurat. Biasanya tersedia brosur atau petunjuk yang ditempelkan di beberapa tempat. Bila ABK tidak menjelaskannya, pelajari saja sendiri.

Langkah pertama
bila berhasil keluar dari kapal yang (akan) tenggelam, entah naik rakit penyelamat, memakai pelampung standar atau seadanya adalah menjauhi kapal yang akan tenggelam. Sebab, kapal yang sedang tenggelam akan menimbulkan pusaran air yang bisa menyedot kita masuk ke dalamnya. Begitu kapal sudah benar-benar tenggelam, segera kembali ke posisi awal kapal karena tim SAR (Search and Rescue) biasanya akan mencari korban di titik terakhir yang terpantau. Tapi, bila terbawa arus, ikuti saja.

Langkah kedua
menghemat tenaga, terutama bila kita hanya pakai pelampung. Jaga diri setenang dan sesantai mungkin. Jangan coba-coba berenang ke suatu arah karena kita tak tahu di mana kita berada. Tenaga harus dihemat agar suhu tubuh tetap terjaga.
Berapa lama suhu tubuh menurun tergantung pada alat penyelamat (syukur kalau kita berada di rakit). Kalau terendam dengan pelampung, tergantung kondisi fisik kita masing-masing. "Beruntung" bagi orang yang gemuk karena dengan lapisan lemaknya ia lebih terlindung ketimbang si kerempeng, yang pada suhu air laut 24oC, dua jam terendam saja suhu tubuhnya sudah menurun.
"Penyerapan atau penurunan suhu tubuh di air lebih cepat 25 kali ketimbang di darat," papar instruktur selam Daniel Abimanju Carnadie.
Supaya suhu tubuh kita tetap dalam kisaran normal selama mungkin, buatlah posisi meringkuk seperti orang kedinginan bila posisi tubuh kita terendam. Kalau kita sendirian, angkat kedua paha sedekat mungkin ke dada, silangkan kedua lengan memeluk diri sendiri. Bila berhasil berkumpul dengan korban lain, buatlah lingkaran serapat mungkin sambil saling berpegangan tangan dan berpelukan agar suhu tubuh semuanya tetap hangat selama mungkin. Manfaatkan setiap benda - baju hangat, jaket kain, plastik - yang bisa teraih untuk melingkupi tubuh.
Pada siang hari tubuh perlu dilindungi dari sengatan sinar Matahari dan proses dehidrasi (hilangnya cairan tubuh). Sedapat mungkin gunakan tutup kepala. Sebab, 40% penguapan air tubuh lewat kepala dan leher. Tindakan itu juga menjaga kondisi luar tubuh (kulit) agar tak mengalami ruam. Bila kulit sempat tergores dan terluka, usahakan perdarahan dihentikan secepat mungkin. Kondisi kulit memburuk cepat atau tidak tergantung pada kondisi tubuh masing-masing.
Jangan minum air laut
Beruntung kalau kita berhasil naik rakit penyelamat seperti Sigit Haryanto dkk. Sebab, rakit semacam itu biasanya dilengkapi air minum dan makanan serta survival kit (baca boks "Peralatan Keselamatan"). Untuk menghemat makanan dan minuman, Sigit dkk. melakukan penjatahan. Tapi ada juga cara lain, penumpang diminta berpuasa pada hari pertama, karena tubuh masih punya cadangan air dan energi dari makanan dan minuman terakhir. Bila mulai sakit kepala (salah satu tanda mulai kekurangan air tubuh), minumlah. Dengan pengaturan ini, cadangan makanan dan minuman bisa dihemat lebih lama hingga ditemukan tim penyelamat. Usahakan pula hanya mengonsumsi karbohidrat macam kue, karena proses pencernaannya hanya perlu sedikit air. Hindari mengonsumsi protein seperti ikan, karena perlu banyak air hingga cadangan air tubuh akan cepat terkuras. Kalaupun terpaksa dikonsumsi, cukuplah dihisap atau diemut, lalu sepahnya dibuang.

Bila terapung tanpa bekal air minum dan makanan sama sekali, hal utama yang harus dilakukan ialah menghemat tenaga serta menjaga suhu tubuh tetap hangat selama mungkin. Bila turun hujan, tampunglah di tangan, topi, atau wadah lain yang sempat terbawa. Dengan cara ini, sejumlah korban ditemukan selamat setelah terapung lebih dari 11 hari. Jangan minum air laut karena organ tubuh kita, terutama ginjal, tak bisa mengolah air berkadar garam tinggi. Bila ginjal rusak, akan mempercepat kematian.
Kalau menemukan benda, entah tumbuhan atau apa pun, keputusan untuk memakan atau tidak tergantung naluri. Ganggang, misalnya, cobalah gigit sedikit. Bila tubuh tak menolak, makanlah. Jika ragu-ragu, tinggalkan saja. Itu soal sugesti. Ada korban yang memakan uang kertas, kardus, kayu yang ditemukan toh tidak apa-apa. Tapi perlu diingat, salah satu faktor terpenting korban bisa bertahan hidup dan selamat dalam kondisi terburuk yaitu adanya semangat untuk terus bertahan hi-dup dan selamat seperti Sumarna.

Anda takut diserang hiu atau binatang laut lainnya?
Tak perlu khawatir. Sebenarnya, mereka tidak pernah menyerang kita karena manusia bukan mangsanya. Mereka baru menyerang kalau merasa terganggu. Memang pernah ada kasus, peselancar diserang hiu karena siluet papan selancar dengan tungkai atau lengan peselancar mirip dengan siluet anjing laut. Tapi begitu digigit, peselancar itu dimuntahkan lagi. Makanya, hindari posisi atau perilaku tubuh yang tegang bergerak-gerak mirip hewan laut sedang terluka yang menjadi mangsa hiu atau hewan laut lainnya.
Selain itu, untuk menghindari salah serang, lepaskan dari tubuh Anda benda-benda logam - rantai arloji, kalung, dsb. - yang bisa memantulkan sinar Matahari hingga mirip sisik ikan mangsanya hiu. Masukkan saja ke saku, karena benda-benda itu bisa kita gunakan sebagai pemantul isyarat pada tim SAR atau kapal lain yang kebetulan lewat.
Begitu kita ditemukan oleh tim SAR atau penolong lain, bertindaklah layaknya orang mau berbuka puasa. Jangan "balas dendam", mentang-mentang sudah berhari-hari tidak makan dan minum. Kon-sumsilah sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan. Organ tubuh yang sudah lama beristirahat akan terkejut bila mendadak dipasok banyak. Bukan tak mungkin itu justru berujung kematian seperti yang terjadi pada sejumlah korban.
Sekali lagi, agar bisa bertahan hidup dan selamat, tetaplah tenang, bersemangat, dan tak lupa berdoa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar