Minggu, 06 Maret 2011


"Haji Bawakaraeng", Ritual di Puncak Gunung

Bersama menanti fajar “musim haji” di Gunung Bawakaraeng
Foto: Winarni.


”Haji Bawakaraeng” adalah istilah bagi orang-orang yang mendaki gunung yang terletak di Kabupaten Gowa Sulsel ini, untuk melaksanakan ritual ibadah haji, yang mereka yakini sama nilainya dengan berhaji di tanah suci Mekkah. Citizen reporter Winarni membagi pengalamannya menyaksikan ritual Haji Bawakaraeng bulan Agustus lalu. (p!)
Sayup-sayup suara “Lailahaillallah” terdengar di balik kabut. Kelelahan yang menggerogoti tubuh setelah pendakian panjang kurang lebih tujuh jam menyusuri punggung Gunung Bawakaraeng dari Lembah Kharisma, berganti menjadi semangat baru. Hari itu, Kamis 10 Agustus 2006, cuaca cerah dan langit tampak begitu dekat di atas kepala. Bersama dengan teman-teman pendaki lainnya, saya mempercepat langkah melewati jalur pendakian yang licin, berharap segera menemukan sumber suara itu. Tak lama, antara percaya dan tidak percaya, antara rasa heran dan kagum, kami terpaku melihat kemampuan sekelompok orang yang menuruni tebing terjal tanpa satu pun alat bantu pendakian. Mereka lincah dan tangguh menaklukkan tebing terjal. Merekalah sumber suara itu, orang-orang yang sedang melaksanakan “ibadah haji” di Gunung Bawakaraeng. Seolah-olah, lantunan tiada henti menyebut keagungan Allah menjadi alat bantu yang jauh lebih ampuh daripada berbagai peralatan yang biasa digunakan para pendaki.


Setelah menuruni tebing yang terjal selanjutnya mereka mendaki ke tempat yang lebih tinggi. Sebuah titian kecil dengan jurang di kiri dan kanan yang tertutup kabut, merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan yang mereka percaya sebagai Mekkah. Di tempat ini terdapat sebuah batu besar yang juga dipercaya sebagai batu yang sama dengan batu dari surga Hajar Aswad di tanah suci Mekkah. Sambil melafalkan “Lailahaillallah” mereka mengelilingi batu besar itu, kadang-kadang ada yang berhenti dan menciumnya. Setelah itu mereka bersujud dan berdoa, kemudian mempersembahkan sesajen masing-masing. Ritual di tempat yang disebut Mekkah itu berlangsung sekitar 30 menit, yang antara lain ditandai dengan penyerahan sesajen. Sedangkan lantunan menyebutkan nama sang pencipta terus dilakukan para jemaah, selepas prosesi di “Mekkah” termasuk saat menyelesaian pendakian dan kembali menuruni lereng gunung.


Para jemaah haji khusyuk berdoa
Foto: Winarni.



Menggelar sajadah di lokasi yang dipercaya sebagai “Mekkah”
Foto: Winarni.



Batu yang dipercaya serupa dengan Hajar Aswad di Mekkah
Foto: Winarni.



Memang, di balik keindahan puncak Gunung Bawakaraeng tersimpan banyak cerita mistik. Konon apabila bumi yang bulat ini diratakan maka gunung dengan ketinggian 2.830 dari permukaan laut ini dipercaya sebagai pusat bumi. Gunung Bawakaraeng dianggap memiliki energi yang sangat besar dan merupakan tempat pilihan para wali untuk mempermantap ilmunya. Secara harfiah Bawakaraeng artinya Mulut (bawa) Sang Pencipta (karaeng), dan nama ini pula yang menyuburkan berbagai mistik serta kepercayaan.

Dan salah satu kepercayaan yang diyakini sekelompok masyarakat itu pulalah yang menjadi alasan lahirnya ritual ibadah haji ke Gunung Bawakaraeng. Bagi yang percaya, melaksanakan ibadah haji ke gunung yang merupakan tempat pendakian yang paling ramai di Sulawesi Selatan ini, sama nilainya dengan ibadah haji ke Mekkah. Haji Bawakaraeng adalah fenomena yang sudah terjadi sejak lama dan masih terus berlangsung hingga hari ini. Selain penduduk sekitar di Lembanna dan Kabupaten Gowa, adapula jemaah haji yang berasal dari Makassar, Maros, Pangkep, Sengkang bahkan ada yang dari Mamuju. Musim haji yang paling ramai bertepatan dengan pelaksanaan Idul Adha, di bulan Agustus, dan juga saat menjelang puasa.

Uniknya, ritual Haji Bawakaraeng ini dilaksanakan tidak sekadar untuk mendapatkan gelar “haji”, tapi yang lebih penting adalah untuk memohon keselamatan, rezeki dan juga permintaan khusus lainnya kepada yang maha kuasa. Ritual ini tentu sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam yang melarang kegiatan persembahan dan pemujaan selain aturan shalat dan bentuk ibadah lainnya yang telah ditetapkan hukumnya. Para jamaah haji di Bawakaraeng justru membawa sesajen yang dipersiapkan sesuai dengan permohonan doa masing-masing. Ada yang mempersembahkan songkolo' (beras ketan), lontong, telur, buah-buahan, daging ayam bahkan ada yang membawa daging kambing. Pelaksanaan ibadah ini sendiri bisa dipandang sebagai wujud pencampuradukan kepercayaan lama, ritual mistik, dan ajaran Islam, yang memang masih ditemukan di kelompok masyarakat tertentu di berbagai daerah di Indonesia.

Saat malam telah benar-benar jatuh, dan subuh segera menjelang, lantunan "Laailahaillallah" masih terus terdengar. Para jemaah yang terdiri dari sekitar 30 orang laki-laki dan wanita itu terus melafalkan puja-puji sambil bersiap menuruni gunung di keesokan paginya, untuk kembali ke kampung masing-masing. (p!)

*Citizen reporter Winarni dapat dihubungi melalui email d52104032@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar